Museum Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam didirikan pada tanggal 31 Juli 1915 dengan nama Atjeh Museum yang dipimpin oleh F.W Stammeshous dan peresmian pembukaannya ketika itu dilakukan oleh Gubernur sipil dan militer Jenderal H.N.A. Swart.
Pada awal berdirinya bangunan itu hanya Rumoh Aceh, yaitu suatu modifikasi bangunan rumah tradisonal Aceh yang berasal dari paviliun Aceh pada pameran Kolonial ( De Koloniale Testooteling ) di semarang yang digelar antara 31 Agustus - 15 November 1914.
Disamping memamerkan koleksi pribadi F.W Stammeshous ( Kurator Atjeh Museum ) Paviliun Aceh juga waktu itu memamerkan aneka ragam benda pusaka para pembesar Aceh sehingga Paviluin tersebut tampil sebagai paviluin yang paling lengkap koleksinya dan memperoleh 4 mendali emas, 11 mendali perak, 3 mendali perunggu, dan piagam penghargaan sebagai paviliun terbaik.
Atas keberhasilan tersebut F.W Stammeshous mengusulkan kepada Gubernur Aceh H.N.A Swart agar paviliun itu dibawa kembali ke Aceh untuk dijadikan Atjeh Museum yang kemudian diresmikan 31 Juli 1915 di Banda Aceh.
Setelah Indonesia merdeka Museum Aceh di operasionalkan secara bergantian, diselenggarakan oleh pemerintah daerah tingkat II Banda Aceh sampai tahun 1969, Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda sampai tahun 1975, Departement Pendidikan dan Kebudayaan sampai tahun 2002, Dan sampai saat ini operasional Museum Banda Aceh menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Sampai tahun 2003 Museum Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mengelola 5.328 koleksi benda budaya dari berbagai jenis, dan 12.445 buku dari berbagai judul yang berisi aneka macam ilmu pengetahuan.
Cakra Donya
Lonceng Cakra Donya merupakan salah satu lonceng yang terkenal di dunia dan memiliki nilai sejarah tinggi. Lonceng Cakra Donya sangat terkenal di Aceh dan sampai sekarang menjadi simbol atau icon Aceh.
Menurut catatan sejarah, lonceng cakra donya merupakan pemberian dari Laksamana Cheng Ho yang merupakan pelayar tangguh, sebagai ikatan persahabatan antara Kerajaan China dan Kerajaan Aceh.
Lonceng Cakra Donya adalah lonceng yang berupa mahkota besi berbentuk stupa buatan China pada tahun 1409 M, dengan tinggi 125 cm dan lebar 75 cm. Pada bagian luar Lonceng Cakra Donya terdapat hiasan dan simbol - simbol berbentuk aksara China dan Arab. Aksara China bertuliskan " Sing Fang Niat Tong Jutt Kat Yat Tjo " ( Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5 ).
Sedangkan Aksara Arab sudah tidak dapat dibaca lagi karena sudah terhapus dimakan usia.
Lonceng yang dibawa oleh Cheng Ho ini adalah pemberian Kaisar Tiongkok, pada abad ke 15 kepada Raja Pasai.
Pada abad ke 15, armada Cheng Ho mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang tertanggal 1409 ( Lonceng Donya ) Kepada Raja Pasai pada waktu itu. Di kota samudra pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti adanya " Kampung China ". Seperti ditulis dari hikayat Raja - Raja Pasai.
Ketika Pasai ditaklukan oleh Aceh Darussalam pada tahun 1524 lonceng ini dibawa ke Kerajaan Aceh pada awalnya lonceng ini ditaruh di atas kapal Sultan Iskandar Muda yang bernama " Cakra Donya "
Cakra mempunyai arti : Poros Kereta, Lambang - Lambang Wishnu, Cakrawala atau Matahari. Sedangkan Donya berarti Dunia, secara harafiah dapat diartikan sebagai pembawa kabar dunia.
Cakra Donya adalah nama sebuah kapal perang Sultan Iskandar Muda ( 1607 - 1636 ), yaitu Kapal Cakra Donya dimana lonceng ini digantungkan, dalam penyerbuannya terhadap Portugis di Malaka.
Kapal Cakra Donya ini bagaikan kapal induk armada Aceh pada waktu itu dan berukuran sangat besar, sehingga Portugis menamakannya " Espanto Del Mundo " ( Teror Dunia ). Kemudian Lonceng yang bertuliskan Aksara Tionghoa dan Aksara Arab dinamakan Cakra Donya.
Lonceng raksa yang merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang bermutu tinggi ini diletakan di dekat Masjid Raya Baiturrahman yang berlokasi didekat kompleks istana Sultan Iskandar Muda. Akan tetapi saat ini Lonceng Cakra Donya diletakan di Museum Aceh.
Lonceng Cakra Donya ini sekarang menjadi benda sejarah kebanggaan orang Aceh hingga sekarang. Lonceng Cakra Donya juga merupakan suatu bukti dan simbol sejarah terjalinnya hubungan baik antara Tiongkok dan Aceh sejak abad ke 15.
Kapal Apung Lampulo
Pelabuhan Lampulo terletak di Kuta Alam, Banda Aceh. Tidak terlalu jauh dari Masjid Baiturrahman. Pelabuhan Lampulo adalah Pelabuhan Perikanan tertua dan terbesar di Banda Aceh.
Nelayan sehari - hari dari seluruh tempat di Banda Aceh melakukan transaksi jual dan beli hasil tangkapan ikan. Pelabuhan di Banda Aceh sibuk sudah mulai dirasakan sejak pagi hari ketika matahari terbit. Pelabuhan Lampulo hancur ketika saat tsunami melanda Aceh pada tahun 2014.
Lebih dari setengah penduduk Lampulo meninggal. Di Lampulo kita masih bisa melihat sisa - sisa dari gelombang tsunami, pikiran kita tertuju pada keganasan gelombang tsunami yang menghancurkan Lampulo.
Sebuah perahu nelayan duduk diam di antara puing - puing rumah. Saya datang kesana dan mencoba untuk mengulangi imajinasi tentang pristiwa tsunami. Akan tetapi pikiran itu membuat saya menjadi ngeri akan kejadian tsunami.
Beberapa tahun setelah kejadian tsunami pelabuhan Lampulo bangkit. Pemerintah daerah berusaha kembali membangun pelabuhan perikanan di Aceh. Pada pagi hari saya melihat hiruk pikuk suasana di pelabuhan Lampulo.
0 Response to "Museum Aceh, Kapal Apung, Cakra Donya"
Post a Comment
"Terimakasih telah berkunjung ke blog Media Online tempatnya berbagi informasi, apabila ada komentar silahkan berkomentar yang sopan"